4 Oktober 2011

Terorisme

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Pada dasarnya tindakan terorisme merupakan lingkaran setan yang berdampak buruk bagi pelaku dan korban sekaligus. Dampak yang paling terasa tentu bukan hanya aspek materi, semisal aspek pariwisata yang ditandai dengan berkurangnya jumlah wisatawan saja, ataupun terganggunya stabilitas politik-ekonomi negara. Entah atas dasar apa pun, kekerasan selamanya tidak akan dibenarkan oleh semua negara dan agama manapun. Ideologi perang dan kekerasan di masa lalu, terbukti banyak menimbulkan kebangkrutan dan kemunduran peradaban.

Lebih dari itu, dampak terorisme yang berdampak jangka panjang dan massif jauh lebih mengkhawatirkan, yakni tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi agama dikarenakan terorisme selalu dikaitkan dengan agama tertentu. Jika ini terjadi, tentu solidaritas yang selama ini dibangun semua elemen bangsa yang ber-bhinika tunggal ika ini menjadi sia-sia.

Siapa pun, kecuali kaum teroris – tentu akan mengutuk terorisme. Dilihat dari sisi mana pun, aksi teroris bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai esensial semua agama. Terorisme hampir identik dengan dendam, kebencian, dan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebrutalan, perusakan, dan pembunuhan massal. Akibatnya, manusia-manusia yang tidak berdosa ikut menjadi sasaran sebagaimana terjadi pada serangan teroris atas menara kembar WTC New York dan Pentagon 11 September 2001 dan memakan ratusan korban meninggal. Belum lagi yang luka parah, dan derita-derita lain yang mengiringinya. Juga ribuan orang yang belum ditemukan sampai sekarang.

Agama memang seperti dua mata pisau. Di satu sisi, agama mampu menjadi kekuatan pembebas dan pembela nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi yang lain, agama pun kerapkali menjadi kekuatan penyebab konflik dan pertahanan rezim kekuasaan. Dengan dalih agama itulah misalnya, para teroris dengan sengaja melakukan “pembajakan” terhadap kitab suci sebagai legitimasi segenap kebiadaban dan ketakutan di tengah masyarakat.

Munculnya wacana terorisme secara global adalah sesaat setelah terjadinya peristiwa 9/11 (September Eleven). Seperti diketahui, Amerika Serikat melakukan operasi besar-besaran untuk menghadang apa yang mereka sebut sebagai gerakan terorisme. Operasi besar-besaran itu menggunakan adagium yang terkenal: “Neither with US or againts US” ; bersama AS atau berhadapan dengan AS. Dan, dilakukanlah operasi ini ke seluruh negara-negara dunia yang baik secara ekonomi, politik maupun budaya di bawah pengaruh AS.

Tidak ada satupun alasan etik dan moral secuil pun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral sebuah agama, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tak terpuji itu. Di samping itu, penting dibangun pemahaman bahwa siapa pun pelaku dari segenap teror yang terjadi, tidak kemudian mendapat kemenangan. Yang tersisa dari semua itu, tak lain hanyalah penderitaan dan kucuran air mata dan darah dari orang-orang yang tidak berdosa.

dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :
“Tidak ada seorangpun yang lebih berbahaya bagi kaum muslimin selain mereka (khowarij), bahkan Yahudi dan Nashrani sekalipun. Hal ini disebabkan mereka adalah kaum yang begitu antusiasnya di dalam membantai setiap muslim yang tidak cocok dengannya, menghalalkan darah dan hartanya, membunuh anak-anaknya, mengkafirkannya dan mereka beragama dengan cara yang demikian ini disebabkan karena kebodohan dan bid’ah mereka yang menyesatkan.”

(maramis setiawan)


Karena itu, tidak ada salahnya apabila ulama salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer) senantiasa mengingatkan akan bahayanya tergesa-gesa dan serampangan di dalam menvonis murtad dan kafir, demi memelihara darah kaum muslimin agar tidak tertumpah. disamping tentu saja semua ini karena pemahaman yang keliru dan parsial dalam memahami sebuah ajaran agama.

Bagaimana pun juga, cita-cita perjuangan seseorang, kelompok, komunitas agama ataupun negara, tidak bisa meminggirkan rasa kemanusiaan serta pengormatan terhadap perbedaan. Melalui tulisan ini kita berharap, kesadaran yang muncul secara kolektif ini pada muaranya akan menjadi gerakan besar, yakni gerakan untuk mencintai dan menghargai kehidupan. Melalui model pemahaman itu, nilai-nilai humanitarian yang religius seperti pluralisme, kesederajatan, dan solidaritas perlu dijadikan landasan sikap dan segala tindakan kita sebagai masyarakat dari sebuah bangsa yang besar. Amin.









sumber: mekz, maramis setiawan

→ Komentar yang menyertakan link aktif, iklan atau titip link akan dimasukan ke folder SPAM
→ Gunakan kode ini utk Emoticon (tanpa ♦)
:) ♦ :( ♦ ;) ♦ :p ♦ =( ♦ ^_^ ♦ :D ♦ =D ♦ |o| ♦ @@ ♦ :-bd ♦ :-d ♦ :ngakak: ♦ :lol: ♦ :love: